JAKARTA, BABEMOI.id – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi mengungkap tiga alasan mengapa wacana hak angket kecurangan pemilu tidak layak untuk ditindaklanjuti.
Pertama, tidak merepresentasikan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia.
Haidar menjelaskan, hak angket sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR harus ada dalam kerangka representasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Ayat 2 Undang Undang MD3.
Sementara berdasarkan temuan LSI, sebanyak 60,5 persen rakyat menganggap pemilu 2024 tidak diwarnai kecurangan.
“Sebanyak 83,6 persen rakyat puas terhadap penyelenggaraan pemilu dan 76,4 persen rakyat menyatakan pemilu telah berlangsung jurdil,” jelas Haidar Alwi kepada awak media di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Kedua, yang dipermasalahkan hanya kecurangan Pilpres tapi Pileg tidak. Ini aneh bin ajaib.
Padahal, menurut Haidar, potensi kecurangan pemilu justru lebih besar di Pileg ketimbang di Pilpres. Dengan jumlah caleg yang mencapai puluhan ribu dan adanya ambang batas parlemen 4 persen, praktik pencurian dan jual beli suara antar-caleg maupun antar-partai sudah menjadi rahasia umum.
Terlebih, proses penghitungan suara Pileg yang dilakukan pada malam hingga dini hari semakin membuka ruang lebih luas bagi terjadinya praktik kecurangan pemilu.
“Sebab, pada waktu tersebut situasi di TPS sudah mulai sepi dari pengawasan masyarakat dan potensi kelengahan petugas akibat kelelahan atau mengantuk,” jelasnya.
Ketiga, motifnya cenderung untuk kepentingan politik segelintir elit daripada untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Haidar melihat wacana hak angket kecurangan pemilu bukan berasal dari masyarakat, melainkan dari pihak-pihak yang kalah dalam pemilu.
“(Hak Angket) Pertama kali dihembuskan oleh Ganjar Pranowo yang merupakan kader PDIP sekaligus salah satu kontestan Pilpres 2024. Kemudian didukung oleh partai pengusungnya dan partai pengusung Anies-Muhaimin,” ungkapnya.
Jika ditelusuri lagi, Haidar mengingatkan bukanlah kali ini saja PDIP mengusulkan hak angket terkait pemilu. Sebelumnya Masinton Pasaribu juga pernah mengusulkan hak angket pasca-putusan MK tentang batas usia capres-cawapres. Namun usulan itu akhirnya gagal karena tidak ditindaklanjuti oleh DPR.
“Sebelum pemilu diusulkan hak angket untuk menggagalkan pencalonan Prabowo-Gibran. Tidak berhasil. Setelah pemilu dan Prabowo-Gibran menang, diusulkan lagi dengan tajuk kecurangan pemilu. Apalagi ujungnya ditambahkan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran dan memakzulkan Presiden Jokowi. Dari sini publik bisa menilai motifnya apa, tujuannya apa dan untuk kepentingan siapa,” pungkas R Haidar Alwi.