JAKARTA – Kasus penembakan antara ajudan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) nonatkif, Irjen Ferdy Sambo masih terus memicu spekulasi di jagat media sosial.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba), Vici Sofianna Putera mengatakan fenomena spekulasi di ranah media sosial menjadi persoalan tersendiri yang patut dicermati secara serius.
Menurutnya, publik mencari analisis alternatif yang dirasa logis melalui media sosial, dibanding mempercayai kronologis dari pihak berwenang, dalam hal ini kepolisian.
“Masalahnya adalah, hal semacam ini bisa menjadi alat persekusi kepada para pihak yang terlibat dalam hasus tersebut,” ujar pengajar mata kuliah psikologi sosial Unisba ini.
“Hold your opinion, ini bisa jadi persekusi. Kita jangan terjebak perangkap ilusi kebenaran,” tandas Vici saat dihubungi wartawan, Selasa (26/7/2022).
Lantas kenapa bisa disebut persekusi? Vici menilai karena narasi-narasi alternatif yang muncul di luar versi kepolisian juga belum berdasarkan fakta ilmiah. Semua masih sebatas opini tanpa data.
Bahkan ia menilai penjelasan pengacara keluarga Birgadir J yang menyatakan kejanggalan mengenai luka di tubuh Brigadir J, juga masih merupakan dugaan.
“Jadi semua bisa saja benar, bisa jadi juga salah (sebelum uji ilmiah secara benar),” tegasnya.
Meski demikian, Vici menilai pernyataan pengacara Keluarga Korban Brigadir J dapat mendorong publik untuk berspekulasi, karena narasi yang bernuansa konspiratif lebih membuat orang tertarik.
“(Secara psikologis, red) Individu tertarik pada narasi konspirasi karena kebutuhan akan pengetahuan dan kepastian dari suatu informasi. Terlebih ketika peristiwa besar terjadi, individu tentu ingin tahu mengapa hal tersebut itu terjadi,” jelasnya.
Pria yang akrab disapa Kang Vici ini mengungkapkan, Professor of social psychology at the University of Kent di Inggris, Karen Douglas pernah menyampaikan: Publik ingin penjelasan dan mereka ingin tahu yang sebenarnya, tetapi mereka juga ingin merasa yakin akan ‘kebenaran’ itu.
Dikatakan Vici, gencarnya pemberitaan dari media dan juga narasi konspirasi dari akun-akun di media sosial dari kasus penembakan di Duren Tiga menggiring opini publik secara tidak langsung dan bertransformasi menjadi sebuah aksi kolektif berupa penghakiman publik kepada keluarga Irjen Sambo.
“Namanya penghakiman pasti ada judgement, di sini menurut saya adalah letak permasalahannya,” ungkap Kang Vici.
Menurutnya, publik harus bisa memisahkan apa yang faktual dan hal yang sensasional. Tantangannya adalah individu dalam memisahkan kedua hal tersebut dibutuhkan kemampuan berpikir jernih dan kritis.
“Sayangnya individu sebagai manusia cenderung berpikir menggunakan cara yang heuristic atau simplistic, sehingga wajar jika narasi konspirasi yang berkembang bisa ditelan mentah-mentah dan dianggap sebuah kebenaran bagi mereka,” katanya.
Hal tersebut menjadi sangat penting karena bukan hanya publik secara umum yang bisa terpengaruh dengan berita bohong ataupun pemikiran konspiratif yang sangat renyah, tapi para penyidik dan timsus di lapangan bisa menjadi tidak objektif dalam menangani kasus ini.
Khawatir terpapar informasi di media sosial, penyidik dan timsus bisa menjadi bias dalam bekerja dan mengambil keputusan semata untuk memuaskan keinginan publik.
“Jangan sampai kasus ini menjadi sebuah paradoks bagi penegakan hukum di Indonesia. Biarkan para penyidik dan timsus bekerja karena timsus ini terdiri dari pihak eksternal yang kredibel seperti Komnas HAM,” demikian Vici.