User Icon Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di AMK WebDev.

Tarif Hidup: Dari Napas Hingga Tegukan Air

Iklan
Iklan

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

KETIKA pemerintah bicara soal efisiensi dan keberlanjutan, yang sering lahir justru deretan pungutan baru. Dari jalan tol hingga udara bersih, kini wacana tarif air dan larangan penggunaan air tanah menambah daftar panjang beban rakyat. Pertanyaannya: sampai di mana negara akan menagih bayaran untuk kita sekadar hidup?

Air adalah sumber kehidupan. Dari bayi yang baru lahir hingga petani di sawah semua bergantung padanya. Namun kini, muncul wacana pemerintah menata ulang model pengelolaan air: tarif pipanisasi akan diterapkan, sementara penggunaan air tanah dibatasi demi kelestarian lingkungan. Berita Kompas.com dan Tempo.co (Agustus 2025) mengonfirmasi rencana ini, yang diklaim ditujukan untuk konservasi sumber daya dan mencegah penurunan muka tanah.

Data menyebutkan bahwa penurunan muka tanah di DKI Jakarta mencapai 0,04 hingga 6,30 cm per tahun sepanjang 2015–2022 . Bahkan, beberapa wilayah utara Jakarta tercatat mengalami penurunan hingga 7 cm per tahun. Ini membuktikan urgensi kontekstual kebijakan pengaturan penggunaan air tanah.

Tetapi ketika dikemas sebagai wacana tarif plus larangan luas, rakyat merasa seperti dijual tiket hidup: “Minum saja bayar.” Padahal menurut data Kemenkes, masih ada 28 juta orang tanpa akses air bersih, dan 8,6 juta rumah tangga buang air sembarangan. Ditambah statistik BPS (2024) yang menunjukkan 7,36% rumah tangga masih belum memiliki akses air minum layak dan akses di daerah pedesaan (87,06%) jauh lebih rendah ketimbang perkotaan (96,56%). DKI Jakarta mencatat akses tertinggi di 99,96%, sementara Papua Pegunungan hanya 30,64% .

Praktiknya, kebijakan yang seharusnya solutif terasa tidak adil bila implementasinya tak memperhitungkan disparitas akses. Belum lagi tarif pipanisasi sering kali lebih tinggi di Jakarta, sementara suplai air tetap dianggap misterius konsumen harus membayar tanpa yakin kualitas dan kontinuitasnya terjamin .

Ini menambah beban fiskal baru di atas daftar pungutan yang sudah terlalu panjang sejak kabinet bekerja: PPN naik (10 → 11 % kini, 12 % direncanakan), pajak karbon, cukai minuman berpemanis & plastik, ERP di Jakarta, retribusi parkir progresif, hingga pajak natura. Jadi, rakyat kini menjelang kehausan pun bertanya: “Bayar dulu, baru boleh meneguk?”

Iklan

Idealnya, pelarangan penggunaan air tanah hanya rasional jika diiringi jaminan akses pengganti gratis atau sangat bersubsidi, khususnya bagi masyarakat miskin. Jika tidak, ini adalah bentuk penelantaran elit yang berdalih dengan istilah lingkungan.

> > > Sumber-sumber utama:

Penurunan muka tanah di Jakarta: hingga 6,30 cm/tahun ; hingga 7 cm di utara Jakarta.

Akses air minum layak nasional & regional: BPS 2024 ; Kemenkes: 28 juta tanpa air bersih.

Kondisi air dan sanitasi: akses air “basic” 92%, sanitasi 88% (2022).

🚀 Mau Punya Media Online Sendiri?

Bingung cara buatnya? Tenang, Ar Media Kreatif siap bantu! Sejak 2018, sudah ratusan media online kami bangun di seluruh Indonesia.

💬 Konsultasi Gratis Sekarang

Didukung penuh oleh Ar Media Kreatif

AMK WebDev

Bangun portal berita profesional & ringan.

💬 Konsultasi Globe News

Media Online Siap Pakai

Desain menarik, panel redaksi, dan dukungan SEO.

📞 Hubungi Kami News Globe