

Oleh: Dwi Taufan Hidayat
SELF healing adalah kebutuhan ruhani manusia modern yang seringkali lelah oleh rutinitas, hiruk pikuk dunia, dan luka batin yang tak tampak. Di tengah serbuan tren dan metode penyembuhan diri ala dunia barat, Islam telah menawarkan jalan pulang yang sederhana, bersahaja, dan tak lekang oleh zaman: sholat, diam, menyendiri, makanan halal nan nikmat, berdamai dengan diri sendiri, dan tidur yang cukup.
Self healing dalam Islam bukanlah pelarian, melainkan perjalanan pulang. Pulang ke Allah, ke fitrah, ke ketenangan yang tak bisa dibeli atau diunduh. Ia bukan sekadar terapi emosi, tetapi penjernihan hati. Maka langkah pertama dalam merawat luka jiwa adalah sholat bukan sebagai rutinitas, tapi sebagai perjumpaan.
Sholat adalah dialog terdalam antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Dalam sujud, segala beban bisa ditumpahkan. Dalam rukuk, ego bisa diruntuhkan. Allah berfirman:
﴿وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي﴾
“Wa aqimiṣ-ṣalāta li-dzikrī”
“Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14)
Saat hati terasa berat, terkadang bukan karena terlalu banyak masalah, tapi karena terlalu jauh dari Allah. Maka sholat bukan hanya kewajiban, melainkan kebutuhan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“يا بِلَالُ، أَقِمِ الصَّلَاةَ، أَرِحْنَا بِهَا”
“Ya Bilāl, aqimis-ṣalāta, arihnā bihā.”
“Wahai Bilal, dirikanlah sholat, istirahatkan kami dengannya.” (HR. Abu Dawud)
Setelah sholat, diam adalah bentuk sabar yang paling sunyi. Ia bukan menyerah, tapi berserah. Diam bukan berarti kalah, tetapi memilih untuk tidak menyakiti, tidak menyulut api konflik. Dalam diam, Allah mendidik kesadaran.
Sebagaimana Nabi Musa ‘alaihis salam ketika dihadapkan pada Firaun, Allah menegaskan:
﴿وَاصْطَنَعْتُكَ لِنَفْسِي﴾
“Waṣṭana‘tuka linafsī”
“Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.” (QS. Thaha: 41)
Pilihan Musa adalah diam dan menanti perintah. Sebab, diam di hadapan takdir Allah adalah bentuk tertinggi dari keimanan yang yakin.
Kemudian, datanglah fase menghilang. Dalam dunia modern, ini bisa berarti sejenak menepi dari media sosial, dari keramaian, dari segala hal yang memicu perbandingan hidup. Menghilang bukan karena lari, tapi agar bisa kembali dengan utuh.
Nabi ﷺ pun kerap menyendiri di Gua Hira sebelum turunnya wahyu. Dalam sunyi, jiwa manusia lebih mudah mendengar suara langit. Dalam diam, kita menemukan suara hati. Dan saat dunia terasa bising, barangkali itu tanda bahwa kita terlalu lama menjauh dari kesunyian yang mendekatkan pada-Nya.
Setelah itu, nikmatilah makanan yang halal dan thayyib, bukan semata enak. Sebab makanan bukan hanya untuk tubuh, tetapi juga untuk ruh. Allah menekankan:
﴿كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ﴾
“Kuluu min ṭayyibāti mā razaqnākum”
“Makanlah dari yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 57)
Makanan yang halal dan bergizi adalah bentuk syukur kepada nikmat-Nya. Ketika tubuh diberi haknya, jiwa pun ikut tenang. Maka makan bukan sekadar konsumsi, tapi ibadah jika diniatkan untuk menguatkan raga dalam ketaatan.

Langkah berikutnya adalah berdamai dengan diri sendiri. Ini yang paling berat. Sebab musuh terbesar bukan orang lain, tapi diri yang belum selesai. Berdamai berarti menerima, bukan pasrah. Menerima bahwa kita pernah gagal, pernah jatuh, pernah kecewa, namun tetap punya kesempatan untuk tumbuh.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ”
“Kullu bni Ādama khaṭṭā’, wa khairul-khaṭṭā’īn at-tawwābūn.”
“Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Maka berdamai dengan masa lalu adalah syarat untuk menjemput masa depan. Jangan terlalu keras kepada diri sendiri. Allah Maha Menerima taubat, bahkan saat semua menolak.
Dan akhirnya, tidur. Ya, tidur adalah bentuk tawakal yang lembut. Meletakkan seluruh kendali kepada Allah dan memulihkan tubuh agar esok lebih kuat. Rasulullah ﷺ mengajarkan adab tidur yang sarat makna. Salah satunya membaca doa:
“بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَحْيَا وَبِاسْمِكَ أَمُوتُ”
“Bismikallāhumma aḥyā wa bismika amūt”
“Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup, dan dengan nama-Mu aku mati.” (HR. Bukhari)
Tidur adalah latihan kematian kecil. Maka, jika sepanjang hari kita luka, izinkan malam menjadi ruang perawatan yang dirahmati. Dalam tidur yang disandarkan kepada Allah, jiwa bisa pulih dari rasa takut, lelah, dan kecewa.
Jika semua langkah itu dijalani dengan niat yang tulus dan ikhlas, maka self healing dalam Islam bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menguatkan, bahkan menyucikan. Kita tak sedang mencari diri yang hilang, tapi kembali kepada diri yang seharusnya yakni hamba Allah yang sadar akan batasnya, serta rindu akan kasih-Nya.
Allah mengingatkan:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Alā bidhikrillāhi taṭma’innul-qulūb”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Jalan sunyi ini memang tidak glamor. Tidak viral. Tapi ia mengantarkan pada pulih yang hakiki. Bukan sekadar sembuh secara emosional, tetapi pulihnya iman, kembalinya taat, dan bangkitnya semangat untuk menjadi manusia yang lebih bertanggung jawab atas diri dan Rabb-nya.
Maka, siapa pun yang merasa lelah, cemas, atau kehilangan arah berhentilah sejenak. Ambil wudhu. Dirikan sholat. Diam. Menyendirilah. Nikmati makanan yang halal. Maafkan dirimu sendiri. Dan tidurlah dengan doa yang lembut.
Karena hidup ini bukan tentang menaklukkan semua, tapi tentang menyadari bahwa kita tak bisa apa-apa tanpa Allah. Dan itulah awal dari semua kesembuhan.
اللهم اجعلنا من عبادك الصابرين الشاكرين، وامنحنا راحة البال، وسكينة القلب، وعافية الجسد، ونور البصيرة.
Ya Allah, jadikan kami termasuk hamba-Mu yang sabar dan bersyukur. Anugerahi kami ketenangan hati, kedamaian jiwa, kesehatan raga, dan cahaya dalam setiap langkah.
Aamiin.
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 





