
Oleh: Dwi Taufan Hidayat
DI BALIK slogan pemerataan pembangunan dan proyek nasional lintas pulau, tersimpan ironi yang menyakitkan: negara disulap jadi panggung operasional tambang ilegal, demi kepentingan segelintir elite. Data ekspor nikel ke China menelanjangi absurditas pencatatan negara. Jalan-jalan mulus dibangun bukan demi rakyat, tapi demi truk-truk penuh tambang haram menuju pelabuhan-pelabuhan yang sengaja ditutup mata.
Mari kita mulai dari angka. Bukan angka dongeng, tapi data yang bikin dahi mengernyit. Pemerintah Tiongkok mencatat, dari tahun 2020 hingga 2022, mereka mengimpor 5,3 juta ton nikel dari Indonesia. Namun ketika kita tengok data dari pihak Indonesia sendiri? Nol. Kosong. Zero. Tidak tercatat. Tidak terdengar. Tidak diakui.
Apa ini bentuk amnesia kolektif birokrasi? Ataukah memang sudah diniatkan sejak awal untuk pura-pura buta dan tuli?
Ketika pemerintah berdiri di mimbar dan dengan bangga menyebutkan bahwa “Indonesia sedang membangun”, publik bertepuk tangan. Jalan-jalan aspal merambah Papua, Sulawesi, dan pelosok lain. Subsidi BBM satu harga konon adalah bukti cinta untuk seluruh anak negeri. Tapi ternyata, di balik semua itu, ada aroma amis. Bukan amis ikan laut, tapi amis hasil tambang yang diselundupkan lewat jalur yang justru dibiayai dengan uang rakyat sendiri.
Luar biasa. Rakyat urunan lewat pajak, subsidi, dan utang negara, demi membiayai jalan-jalan lempeng yang kemudian dipakai untuk memuluskan operasi angkut hasil tambang ilegal. Apakah ini prestasi? Ataukah satire gelap tentang bagaimana negara bisa dikooptasi oleh segelintir keluarga yang haus tambang?
Dan di tengah semua ini, satu pertanyaan paling sinis: siapa yang berdiri di belakang semua ini? Apakah benar hanya mafia tambang kelas bawah? Atau justru ada tokoh-tokoh besar yang selama ini dikenal dengan narasi kerakyatan, berpose bersama petani, senyum bersama nelayan, dan mencitrakan diri sebagai pahlawan pembangunan dari Sabang sampai Merauke?
Jika benar ada keterlibatan lingkar keluarga, maka ini bukan sekadar persoalan hukum. Ini pengkhianatan pada Republik.
Bayangkan, 5,3 juta ton nikel. Ini bukan sekadar selundupan dua truk, tapi volume sebesar itu tak mungkin lewat tanpa infrastruktur. Maka wajar jika banyak yang mencurigai: apakah proyek nasional yang katanya demi rakyat, sesungguhnya dibangun untuk menyelamatkan logistik tambang milik pribadi? Apakah dana triliunan untuk pembangunan jalan ke pedalaman justru diarahkan agar memudahkan ekspor diam-diam?

Sementara itu, rakyat tetap dibiarkan sibuk berdebat soal capres-capresan, soal subsidi dicabut atau tidak, soal apakah Ibu Kota Negara baru itu bermanfaat atau tidak. Padahal persoalan sebenarnya sedang terjadi di tempat yang tak dijangkau berita utama: pelabuhan-pelabuhan kecil, dermaga-dermaga yang disulap malam hari, jalanan yang tiba-tiba dipadatkan agar truk tambang tidak amblas.
Ini bukan teori konspirasi. Ini konspirasi yang terang-benderang, hanya saja dibungkus rapi dalam bahasa nasionalisme.
Lalu siapa yang peduli? Para pejabat yang menikmati fasilitas negara mungkin hanya akan mengangkat bahu. Toh selama rakyat belum marah, semuanya bisa terus berjalan. Selama media besar masih disibukkan dengan gemerlap politik elektoral, cerita nikel ilegal ini tak akan menjadi headline.
Maka ketika rakyat mengumpat, “Sampah negara!”, itu bukan sekadar luapan emosi. Itu adalah diagnosis yang akurat. Sebab negara yang membiarkan hasil buminya digarong oleh elitnya sendiri, lalu menutup-nutupi dengan dalih pembangunan, memang sudah masuk kategori gagal fungsi.
Kita butuh lebih dari sekadar klarifikasi. Kita butuh pembongkaran besar-besaran terhadap struktur kekuasaan yang memungkinkan tambang ilegal sebesar ini lolos dari pencatatan negara.
Karena kalau negara bisa tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang ekspor 5,3 juta ton nikel, maka pertanyaan yang lebih mengerikan muncul:
Apalagi yang selama ini kita tidak tahu?
Jika narasi ini mengganggu tidur mereka yang berkepentingan, maka artinya tulisan ini menemukan sasarannya. Sebab di negeri yang sehat, suara kritis bukan ancaman, tapi vitamin. Tapi kalau suara seperti ini justru dianggap “tidak membangun”, barangkali karena yang sedang dibangun bukan negeri, tapi kepentingan.