JAKARTA, BABEMOI – Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Denny Indrayana menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo terkait wacana pembatalan Pemilu 2024 atau penundaan Pemilu hingga 2026.
Denny Indrayana menilai sikap Presiden Jokowi yang cenderung membiarkan pembatalan Pemilu 2024 dapat dikenakan Delik Pengkhianatan terhadap Negara, dan karenanya dapat berimplikasi pemberhentian di tengah masa jabatan (impeachment).
Denny Indrayana yang mantan wakil menteri hukum dan HAM ini mengaku sejak awal (Pemilu 2014) nama Presiden Jokowi muncul sebagian kandidat Capres, mendukung Jokowi karena pro-pemberantasan korupsi. Karena itu ia berhak menyampaikan surat “menagih janji” terbuka kepada Jokowi.
Kali ini, surat teguran itu terkait pernyataan Jokowi pada Sabtu 5 Maret 2022, menanggapi wacana penundaan Pemilu 2024.
Presiden Joko Widodo menyatakan: “Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi, Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi.”
Menurut Denny, sekilas pernyataan Jokowi itu terkesan normal dan benar-benar saja. Namun, jika ditelisik lebih dalam, maka pernyataan itu mengandung banyak kesalahan mendasar.
“Penundaan pemilu—yang secara konsep ketatanegaraan lebih tepat merupakan pembatalan—adalah persoalan yang harus disikapi dengan lebih jelas dan tegas. Tidak boleh mendua. Jangan abu-abu. Ini persoalan hitam-putih menjalankan konstitusi bernegara,” ungkap Denny.
Pembatalan Pemilu 2024, lanjut dia, adalah sikap yang terang-benderang menabrak UUD 1945. Bukan hanya satu, tapi banyak pasal yang dilanggar. Di antaranya adalah soal Indonesia negara hukum, Pasal 1 ayat (3).
Menghilangkan pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat), dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat). Usulan membatalkan pemilu, yang implisit mengandung hasrat memperpanjang masa jabatan petahana Presiden-Wakil Presiden, parlemen pusat dan daerah, bahkan kepala daerah, jelas-jelas bertentangan dengan pembatasan masa jabatan presiden, Pasal 7; anggota DPR, DPD, dan DPRD dipilih melalui pemilu, Pasal 19 ayat (1), 22C ayat (1); dan 18 ayat (3); kepala daerah dipilih secara demokratis, Pasal 18 ayat (4); dan pemilihan umum dilaksanakan berkala setiap lima tahun, Pasal 22E ayat (1).
Kata Denny Indrayana, tentang pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan menabrak UUD 1945 tersebut, tidak ada keraguan atasnya.
“Sejauh ini, saya tidak melihat ada ahli hukum tata negara dan politik yang berbeda tafsir soal pelanggaran itu. Semua sepakat. Maka, pernyataan Bapak Presiden yang di satu sisi menyatakan tunduk dan patuh pada konstitusi, namun pada sisi yang lain memberi ruang wacana penundaan pemilu bergulir dengan alasan konsekuensi berdemokrasi adalah sikap mendua yang keliru dan fatal,” tandanya.
Denny yang mengaku pernah ditegur Perseiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gara-gara menyatakan dukungan ke Jokowi pada Pilpres 2014 menjelaskan, sikap tunduk dan patuh harusnya dikunci dengan pernyataan, stop membicarakan pembatalan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.
“Seharusnya stop membicarakan pembatalan pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Titik. Hitam-putih. Jangan dibuka ruang abu-abu. Jangan dibuka ruang tafsir yang lain,” tukasnya.
Ia melanjutkan, jika memberi ‘koma’ pada pernyataan itu, dengan tetap mengizinkan mendiskusikannya—seolah-olah menghormati kebebasan berpendapat, tetapi sejatinya memberi kesempatan pikiran liar itu mengalir, tanpa tindakan tegas menghentikan.
Padahal sudah jelas, Denny mengingatkan bahwa usulan pembatalan pemilu yang dibiarkan, seolah-olah menemukan pembenarannya melalui perubahan UUD 1945.
Karena itu, Denny membaca kalimat Presiden Jokowi banyak sayap dan maknanya. Satu sisi, taat dan tunduk pada konstitusi, sisi lain membiarkan usulan penundaan pemilu tetap berkembang dengan alasan demokrasi.
Padahal jika dibiarkan, lanjutnya, tidak tertutup kemungkinan penundaan pemilu itu dicari akal-akalannya melalui perubahan UUD 1945.
Karena itu Denny menilai ada bacaan kalimat bersayap, “Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi”.
Frasa: “Sudah pada pelaksanaan” dalam kalimat itu, bisa bermakna pelaksanaan pasca-konstitusi yang diakal-akali untuk diubah, yang melegitimasi pembatalan pemilu dan memperpanjang masa jabatan.
Menurut Denny, sudah jamak diketahui bahwa, kalaupun usulan penundaan ingin dilaksanakan, maka harus mengubah dulu UUD 1945. Padahal pendapat demikian pun adalah salah. Konstitusi pilar utamanya adalah konstitusionalisme, pembatasan atas kekuasaan.
“Usulan pembatalan pemilu, menjabat dan memperpanjang kuasa tanpa pemilu, jelas menabrak prinsip limitation of powers. Pelanggaran prinsipil demikian tidak menjadi benar, meskipun dikonstitusikan sekalipun,” jelasnya.
Denny menegaskan, kejahatan tidak menjadi benar, bahkan jika disahkan dengan aturan hukum.
“Maaf, memperkosa tidak menjadi sah, bahkan jika ada undang-undang yang melegitimasinya. Perkosaan adalah kejahatan, maka undang-undang yang dibuat untuk mengesahkannya harus batal demi hukum itu sendiri. Karena hukum tidak boleh disalahgunakan untuk mengesahkan kejahatan,” ungkapnya memberi contoh. .
Demikian juga dengan konstitusi. Kata Denny, membatalkan pemilu dan memperpanjang masa jabatan adalah pelanggaran telanjang atas konstitusi, sehingga sama sekali tidak bisa dibenarkan, bahkan dengan mengubah aturan konstitusi itu sendiri.
Kalaupun perubahan UUD 1945 dilakukan untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi itu, maka perubahan demikian harus batal demi konstitusi itu sendiri. Karena konstitusi tidak boleh dimanipulasi untuk mengesahkan pelanggaran atas konstitusi itu sendiri.
Atas dasar itulah, Denny mengaku kecewa dengan sikap Presiden Jokowi yang mendua dan tidak tegas melarang rencana pembatalan Pemilu 2024, dengan alasan demokrasi atau akal-akalan perubahan UUD 1945 sekalipun.
Apalagi kata Denny semua paham bahwa Presiden tidak boleh membiarkan konstitusi dilanggar apapun alasannya.
Sumpah jabatan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia di atas Al Qur’an berdasarkan Pasal 9 UUD 1945 menegaskan:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Jelas sekali, sebagai Presiden, salah satu kewajiban Bapak adalah memegang teguh konstitusi dengan selurus-lurusnya.
“Membiarkan rencana pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan, yang nyata-nyata menabrak konstitusi, adalah pelanggaran sumpah jabatan dan penghianatan terhadap konstitusi, bahkan lebih jauh adalah penghianatan terhadap negara. Suatu pelanggaran yang sangat serius jika dilakukan pejabat negara, terlebih jika itu adalah pemimpin tertinggi, Sang Presiden,” katanya mengingatkan.
“Saya dengan berat hati, menyampaikan masukan ini karena sadar Bapak mungkin kurang berkenan. Tetapi sekali lagi, saya harus melakukannya. Bukan hanya untuk menyelamatkan bangsa kita dari kekeliruan dengan ringan melanggar konstitusi, tetapi juga untuk menjaga Bapak sendiri untuk tidak terjerumus melanggar sumpah jabatan dan ikut melanggar konstitusi,” lanjut Denny.
Pada bagian selanjutnya, Denny Indrayana mencatat tidak sekali-dua Jokowi memberikan pernyataan mendua, alias bersayap, yang berujung dilanggarnya aturan konstitusi. Untuk surat terbuka ini, Denny hanya mencantumkan satu contoh, yang menurutnya penting, dan terus terang membekas dan menyakitkan.
Yakni ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diupayakan untuk dilumpuhkan, pernyataan Jokowi pun juga mendua. Denny mencatat, pada masa kampanye dan periode pertama, sikap Jokowi masih memberi harapan, dengan pernyataan tegas.
Kata Jokowi: “Saya tidak akan membiarkan KPK dilemahkan. KPK sebagai sebuah institusi, yang dipercaya oleh masyarakat, sangat dipercaya masyarakat, ya harus kita perkuat. Harus itu, harus kita perkuat untuk mempercepat pemberantasan korupsi”.
“Itu pernyataan Bapak pada 11 September 2017. Namun sikap itu berubah ketika KPK ingin dilumpuhkan melalui perubahan UU KPK. Bapak memberikan pernyataan yang tidak tegas, bahkan terkesan lepas tangan,” kata Denny.
Denny menyebut ketika itu Jokowi menyatakan” “Saya kira itu inisiatif dari DPR, itu inisiatif dari parlemen. Sembilan fraksi yang ada di parlemen semuanya setuju. Harus dilihat politiknya, jangan hanya dilihat yang berkait dengan korupsinya. … Kalau nanti (judicial review) dikabulkan berarti bisa selesai.”
“Yang kedua oleh review di DPR, juga bisa dilakukan. Yang ketiga juga bisa perlu dari Presiden kalau itu dalam keadaan genting. Saya kira opsi-opsi itu ada, sekali lagi ini demokrasi”.
Bagi Denny Indrayana, sikap Jokowi itu sama halnya dengan membiarkan pelanggaran pembatalan pemilu yang melanggar konstitusi. Bapak (Jokowi), kata Denny kembali menggunakan alasan demokrasi untuk bersikap tidak tegas.
“Berbeda dengan periode pertama, di periode kedua ini, Bapak membiarkan KPK dilumpuhkan lewat perubahan UU-nya,” tukas Denny.
Mengatakan itu inisiatif DPR, sehingga pemerintah tidak bertanggung jawab, seolah benar. Tetapi, sebagai Presiden, lanjut Denny, Bapak (Presiden Jokowi) seharusnya paham, bahwa kewenangan legislasi pembuatan undang-undang dimiliki oleh Presiden, DPR—dan juga DPD.
Meskipun, pasca-perubahan UUD 1945, kewenangan legislasi diserahkan kepada DPR, namun kekuatan Presiden bukanlah berarti lemah. Bahkan dibandingkan hak veto yang dimiliki Presiden Amerika Serikat sekalipun, Presiden Indonesia lebih kuat daya tawarnya dalam pembuatan undang-undang.
Karena setiap rancangan undang-undang, dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya, meskipun merupakan inisiatif DPR, Presiden punya kewenangan kokoh untuk tidak membahas dan tidak menyetujuinya.
“Fakta bahwa perubahan UU KPK kemudian disahkan menjadi undang-undang, membuktikan Bapak Presiden ikut menyetujui dan bertanggung jawab atas lumpuh dan “dibunuhnya KPK”.”
Bagi Denny Indrayana, menyalahkan inisiatif DPR, bukan hanya tindakan yang salah, tetapi menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab, yang sama sekali diharamkan dilakukan oleh pemimpin tertinggi negara.
Apalagi, lanjutnya, Presiden bukan hanya kepala pemerintahan (chief of executive), juga kepala negara (chief of state). Maknanya, arah kehidupan bernegara ditentukan oleh Bapak Presiden.
Bapak (Jokowi) jelas Denny, tidak boleh berlindung di balik inisiatif DPR yang mengusulkan perubahan UU KPK. Karena Presiden bukan hanya harus menelurkan kebijakan di bidang pemerintahan, tetapi juga dapat—bahkan wajib—mempengaruhi kebijakan di parlemen.
Presiden adalah juga pemimpin koalisi pemerintahan dan parlemen (chief of coalition). Jika Bapak (Jokowi) bisa dengan mudah menggolkan perubahan UU Minerba yang memberikan perpanjangan izin kepada para oligarki penambang besar; berhasil menggolkan UU Cipta Kerja—meskipun kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi; dan memuluskan lahirnya UU Ibu Kota Negara; maka seharusnya Bapak Presiden juga bisa dengan amat mudah menghentikan inisiatif parlemen untuk mengubah UU KPK, yang menyebabkan KPK hidup enggan mati tak mau.
“Sekali lagi, membiarkan perubahan UU KPK, adalah salah satu sikap Bapak Presiden yang saya catat bertentangan dengan janji kampanye dan harapan untuk menegakkan konstitusi dan memberantas korupsi. Sayang sekali, Bapak Presiden akan dikenang sejarah sebagai Presiden yang ikut membidani perubahan UU KPK, yang melumpuhkan KPK,” tandas Denny yang merupakan salah satu pendiri Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM.
Kembali ke isu pembatalan Pemilu 2024. Denny mengatakan Jokowi seharusnya tegas menghentikannya, dan tidak bersikap membiarkannya dengan alasan demokrasi. Pilihan membiarkan pelanggaran konstitusi itu, dalam kacamata hukum tata negara berimplikasi serius, presiden ikut melanggar konstitusi, dan karenanya bisa dimakzulkan.
Kata Denny, pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan, nyata-nyata melanggar konstitusi. Presiden seharusnya tidak membuka ruang toleransi.
Membiarkannya, apalagi jika terbukti menginisiasinya, sebagaimana dilansir portal berita nasional CNN Indonesia, dengan judul “Tangan Pemerintah di Balik Desain Tunda Pemilu 2024” adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi.
“Pelanggaran demikian, bisa dikonstruksikan memenuhi delik pasal pemakzulan (impeachment article), utamanya tentang pengkhianatan terhadap negara.”
Pasal 7A UUD 1945 mengatur, presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan pelanggaran hukum, salah satunya, “pengkhianatan terhadap negara”.
“Tidak boleh menkhianati negara diatur sebagai salah satu syarat calon presiden berdasarkan pasal 169 huruf d UU Pemilu.”
Nah, di dalam penjelasan pasal tersebut diatur: Yang dimaksud dengan “tidak pernah mengkhianati negara” adalah tidak pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan secara inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara, serta tidak pernah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Maka, berdasarkan makna pengkhianatan terhadap negara tersebut, seorang Presiden yang melanggar UUD 1945, masuk kategori melakukan pengkhianatan terhadap negara. Itu sebabnya, membiarkan rencana pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan yang jelas-jelas melanggar konstitusi—terlebih lagi apabila terbukti menjadi inisiatornya, menyebabkan Bapak Presiden Jokowi secara hukum tata negara dapat diberhentikan alias dimakzulkan dalam masa jabatan.
“Tentu saja kita mengerti, kemungkinan pemakzulan menurut hukum konstitusi itu belum tentu terjadi dalam realitas politik. Karena partai koalisi pemerintah pendukung Bapak Presiden, jumlahnya mayoritas di DPR.”
“Sedangkan proses impeachment, diawali melalui proses politik di DPR, sebelum berlanjut ke MK, dan berujung di MPR. Meskipun demikian, adalah tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan Presiden agar tidak bermain-main dengan konstitusi, apalagi melanggar konstitusi. Karena, selain memang tidak boleh dilakukan, konsekuensinya pun adalah pemecatan di tengah masa jabatan,” papar Denny Indrayana yang menulis surat terbuka itu dari Masjid Baitul Ma’mur, Laverton, Melbourne, Australia pada 6 Maret 2022.
mengaku risau
*Assalamu’alaikum Wr. Wb.*
*Presiden Jokowi Yang Terhormat,*
Ba’da shubuh pagi ini, sambil menyimak “Kajian Ahad” di masjid komunitas Indonesia Baitul Ma’mur, Laverton, Melbourne, Australia, izinkan saya menyampaikan masukan dan kerisauan saya sebagai tanda sayang kepada Bapak Presiden, dan cinta tak berhingga kepada Indonesia.
Setelah menimbang dalam, saya memilih mengirimkan surat terbuka, ketimbang tertutup. Tentu ada risikonya. Surat terbuka ini akan dibaca lebih banyak orang, dan semoga sampai serta berkenan pula Bapak baca. Ketimbang surat tertutup, yang terus terang, saya tidak yakin akan sampai ke tangan Bapak untuk disimak.
Salah satu tantangan terbesar menjadi Presiden adalah mampu menyerap masukan dan aspirasi apa adanya. Karena, berdasarkan sedikit pengalaman saya bekerja di Istana, akan lebih banyak orang yang lebih mudah memberikan kabar baik, menyensor kabar buruk, apalagi kritik.
Akibatnya, Presiden berjarak dengan realitas masalah—yang sewajibnya diketahuinya. Padahal, adalah tanggung jawab seluruh lingkaran dalam Presiden untuk menyampaikan masukan apa-adanya.
Sesuatu yang dulu coba saya lakukan, meskipun dengan risiko membuat muka Presiden berubah, karena mendapatkan informasi yang tidak menyenangkan. Terus memberikan kabar baik, dan enggan menyampaikan kabar buruk, bukanlah membantu Presiden, tetapi justru menjerumuskannya.
*Izinkan saya mengawali surat ini dengan satu cerita.*
Hari pencoblosan, 9 Juli 2014, saya mengirimkan pesan twitter, dengan foto salam dua jari bertanda tinta, “Jangan Golput, #SayaPilihJokowiuntukIndonesiaAntiKorupsi.”
Itulah pilihan tulus untuk Bapak. Pilihan itu mengandung harapan, “Jokowi adalah Kita”, bagi saya artinya: Jokowi yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Indonesia yang lebih adil. Indonesia yang lebih antikorupsi.
Pesan itu saya kirimkan dengan sadar. Karena tentu ada konsekuensinya. Tidak berselang lama, setelah mengirimkan twit itu, saya menerima teks teguran dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau mengingatkan, sebagai Wamenkumham yang anggota kabinet, seharusnya saya mengedepankan sikap netralitas dalam pemilihan presiden, sebagaimana pilihan sikap yang Presiden SBY sendiri contohkan.
Karena pilihan sikap tersebutlah, saya berhak dan bertanggung jawab mengirimkan surat terbuka ini.
Berhak menagih janji Presiden Jokowi, khususnya soal penegakan hukum dan antikorupsi. Bertanggung jawab mengingatkan Bapak Presiden, karena saat-saat ini, saya merasakan persoalan di bidang hukum dan antikorupsi makin menggelisahkan, dan makin jauh dari harapan.
Pada bagian selanjutnya, Denny Indrayana mencatat tidak sekali-dua Jokowi memberikan pernyataan mendua, alias bersayap, yang berujung dilanggarnya aturan konstitusi. Untuk surat terbuka ini, Denny hanya mencantumkan satu contoh, yang menurutnya penting, dan terus terang membekas dan menyakitkan.
Yakni ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diupayakan untuk dilumpuhkan, pernyataan Jokowi pun juga mendua. Denny mencatat, pada masa kampanye dan periode pertama, sikap Jokowi masih memberi harapan, dengan pernyataan tegas.
Kata Jokowi: “Saya tidak akan membiarkan KPK dilemahkan. KPK sebagai sebuah institusi, yang dipercaya oleh masyarakat, sangat dipercaya masyarakat, ya harus kita perkuat. Harus itu, harus kita perkuat untuk mempercepat pemberantasan korupsi”.
“Itu pernyataan Bapak pada 11 September 2017. Namun sikap itu berubah ketika KPK ingin dilumpuhkan melalui perubahan UU KPK. Bapak memberikan pernyataan yang tidak tegas, bahkan terkesan lepas tangan,” kata Denny.
Denny menyebut ketika itu Jokowi menyatakan” “Saya kira itu inisiatif dari DPR, itu inisiatif dari parlemen. Sembilan fraksi yang ada di parlemen semuanya setuju. Harus dilihat politiknya, jangan hanya dilihat yang berkait dengan korupsinya. … Kalau nanti (judicial review) dikabulkan berarti bisa selesai.”
“Yang kedua oleh review di DPR, juga bisa dilakukan. Yang ketiga juga bisa perlu dari Presiden kalau itu dalam keadaan genting. Saya kira opsi-opsi itu ada, sekali lagi ini demokrasi”.
Bagi Denny Indrayana, sikap Jokowi itu sama halnya dengan membiarkan pelanggaran pembatalan pemilu yang melanggar konstitusi. Bapak (Jokowi), kata Denny kembali menggunakan alasan demokrasi untuk bersikap tidak tegas.
“Berbeda dengan periode pertama, di periode kedua ini, Bapak membiarkan KPK dilumpuhkan lewat perubahan UU-nya,” tukas Denny.
Mengatakan itu inisiatif DPR, sehingga pemerintah tidak bertanggung jawab, seolah benar. Tetapi, sebagai Presiden, lanjut Denny, Bapak (Presiden Jokowi) seharusnya paham, bahwa kewenangan legislasi pembuatan undang-undang dimiliki oleh Presiden, DPR—dan juga DPD.
Meskipun, pasca-perubahan UUD 1945, kewenangan legislasi diserahkan kepada DPR, namun kekuatan Presiden bukanlah berarti lemah. Bahkan dibandingkan hak veto yang dimiliki Presiden Amerika Serikat sekalipun, Presiden Indonesia lebih kuat daya tawarnya dalam pembuatan undang-undang.
Karena setiap rancangan undang-undang, dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya, meskipun merupakan inisiatif DPR, Presiden punya kewenangan kokoh untuk tidak membahas dan tidak menyetujuinya.
“Fakta bahwa perubahan UU KPK kemudian disahkan menjadi undang-undang, membuktikan Bapak Presiden ikut menyetujui dan bertanggung jawab atas lumpuh dan “dibunuhnya KPK”.”
Bagi Denny Indrayana, menyalahkan inisiatif DPR, bukan hanya tindakan yang salah, tetapi menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab, yang sama sekali diharamkan dilakukan oleh pemimpin tertinggi negara.
Apalagi, lanjutnya, Presiden bukan hanya kepala pemerintahan (chief of executive), juga kepala negara (chief of state). Maknanya, arah kehidupan bernegara ditentukan oleh Bapak Presiden.
Bapak (Jokowi) jelas Denny, tidak boleh berlindung di balik inisiatif DPR yang mengusulkan perubahan UU KPK. Karena Presiden bukan hanya harus menelurkan kebijakan di bidang pemerintahan, tetapi juga dapat—bahkan wajib—mempengaruhi kebijakan di parlemen.
Presiden adalah juga pemimpin koalisi pemerintahan dan parlemen (chief of coalition). Jika Bapak (Jokowi) bisa dengan mudah menggolkan perubahan UU Minerba yang memberikan perpanjangan izin kepada para oligarki penambang besar; berhasil menggolkan UU Cipta Kerja—meskipun kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi; dan memuluskan lahirnya UU Ibu Kota Negara; maka seharusnya Bapak Presiden juga bisa dengan amat mudah menghentikan inisiatif parlemen untuk mengubah UU KPK, yang menyebabkan KPK hidup enggan mati tak mau.
“Sekali lagi, membiarkan perubahan UU KPK, adalah salah satu sikap Bapak Presiden yang saya catat bertentangan dengan janji kampanye dan harapan untuk menegakkan konstitusi dan memberantas korupsi. Sayang sekali, Bapak Presiden akan dikenang sejarah sebagai Presiden yang ikut membidani perubahan UU KPK, yang melumpuhkan KPK,” tandas Denny yang merupakan salah satu pendiri Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM.
Kembali ke isu pembatalan Pemilu 2024. Denny mengatakan Jokowi seharusnya tegas menghentikannya, dan tidak bersikap membiarkannya dengan alasan demokrasi. Pilihan membiarkan pelanggaran konstitusi itu, dalam kacamata hukum tata negara berimplikasi serius, presiden ikut melanggar konstitusi, dan karenanya bisa dimakzulkan.
Kata Denny, pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan, nyata-nyata melanggar konstitusi. Presiden seharusnya tidak membuka ruang toleransi.
Membiarkannya, apalagi jika terbukti menginisiasinya, sebagaimana dilansir portal berita nasional CNN Indonesia, dengan judul “Tangan Pemerintah di Balik Desain Tunda Pemilu 2024” adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi.
“Pelanggaran demikian, bisa dikonstruksikan memenuhi delik pasal pemakzulan (impeachment article), utamanya tentang pengkhianatan terhadap negara.”
Pasal 7A UUD 1945 mengatur, presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan pelanggaran hukum, salah satunya, “pengkhianatan terhadap negara”.
“Tidak boleh menkhianati negara diatur sebagai salah satu syarat calon presiden berdasarkan pasal 169 huruf d UU Pemilu.”
Nah, di dalam penjelasan pasal tersebut diatur: Yang dimaksud dengan “tidak pernah mengkhianati negara” adalah tidak pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan secara inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara, serta tidak pernah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Maka, berdasarkan makna pengkhianatan terhadap negara tersebut, seorang Presiden yang melanggar UUD 1945, masuk kategori melakukan pengkhianatan terhadap negara. Itu sebabnya, membiarkan rencana pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan yang jelas-jelas melanggar konstitusi—terlebih lagi apabila terbukti menjadi inisiatornya, menyebabkan Bapak Presiden Jokowi secara hukum tata negara dapat diberhentikan alias dimakzulkan dalam masa jabatan.
“Tentu saja kita mengerti, kemungkinan pemakzulan menurut hukum konstitusi itu belum tentu terjadi dalam realitas politik. Karena partai koalisi pemerintah pendukung Bapak Presiden, jumlahnya mayoritas di DPR.”
“Sedangkan proses impeachment, diawali melalui proses politik di DPR, sebelum berlanjut ke MK, dan berujung di MPR. Meskipun demikian, adalah tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan Presiden agar tidak bermain-main dengan konstitusi, apalagi melanggar konstitusi. Karena, selain memang tidak boleh dilakukan, konsekuensinya pun adalah pemecatan di tengah masa jabatan,” papar Denny Indrayana yang menulis surat terbuka itu dari Masjid Baitul Ma’mur, Laverton, Melbourne, Australia pada 6 Maret 2022.